konyol Pemerintah targetkan pajak rokok 10 triliun di tahun 2014
merokok dapat merusak kesehatan dan mempercepat kematian fakta ini yang berusaha ditutupi oleh para industri rokok dari para konsumennya. fakta ini seharusnya menjadi suatu alasan untuk menekan seminimal mungkin jumlah perokok agar terwujudnya masyarakat yang sehat bebas dari asap rokok. banyak para aktivis - aktivis yang perduli akan bahayanya asap rokok untuk kesehatan, bukan hanya siperokok sendiri bahkan orang yang tak berdosa yang tidak menghisap rokok (perokok pasif) turut menjadi korbannya. pemerintah tampak sering melakukan sosialisai tentang bahaya merokok, namun tampaknya hal ini hanya seperti sebuah program yang lagi-lagi menghabiskan dana secara percuma karena tidak dibarengi dengan tindakan nyata. terbukti dengan upaya pemerintah menargetkan pajak rokok hingga 10 triliun untuk tahun 2014. seperti yang di lansir salah satu media online. " mungkin dikarenakan program KB dirasa belum cukup untuk menekan jumlah penduduk di Indonesia. untuk itu pemerintah berencana menekan jumlah penduduk dengan membiarkan menghirup racun" , ujar seorang perokok sambil tersenyum.
berikut kutipan terkait penargetan pajak rokok hingga 10 triliun
Sejak diberlakukan Pajak Rokok Daerah mulai 1 Januari 2014 sesuai dengan
UU Nomor 28 tahun 2009, setoran pajak rokok sudah mencapai Rp 20
miliar. Sampai akhir tahun 2014 diharapkan nilai pajak rokok tersebut
akan mencapai Rp 10 triliun.
"Potensinya terlihat karena pita cukai rokok tahun 2013 mencapai Rp 100 triliun. Besaran pajak rokok 10 persen dari nilai cukai," kata Kepala Sub-Direktorat Sinkronisasi dan Dukungan Teknis Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Anwar Syahdat, seusai Diskusi Pemanfaatan Dana Tembakau untuk Kesehatan Masyarakat di Kuta, Bali, Selasa, 4 Maret 2014.
Anwar menjelaskan bahwa pajak rokok daerah sebenarnya adalah pajak provinsi yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui kantor Bea-Cukai. Pajak ini nantinya disalurkan setiap tiga bulan sekali kepada pemerintah provinsi yang besarannya ditentukan berdasarkan proporsi jumlah penduduk dibanding jumlah penduduk Indonesia.
Asumsinya, kata Anwar, semakin banyak jumlah penduduk suatu provinsi maka akan semakin banyak jumlah perokoknya. "Ini memang belum ideal karena mestinya benar-benar didasarkan pada jumlah konsumsi rokok di satu daerah. Namun data itu belum kita miliki," ujarnya.
Adapun provinsi yang berhak menerima pajak itu adalah provinsi yang sudah memiliki Perda Pajak Rokok Daerah. Sejauh ini sudah 32 provinsi yang memilikinya. DKI Jakarta sedang dalam proses pembahasan, sementara Kalimantan Utara masih mengikuti perda Kalimantan Timur karena belum memiliki DPRD provinsi yang punya hak membahas dan mengesahkan perda itu.
Adapun penggunaan hasil Pajak Rokok Daerah, seusai UU, minimal 50 persen harus digunakan untuk kepentingan kesehatan masyarakat khususnya penanganan penyakit yang berhubungan dengan merokok. Selain itu, dapat digunakan untuk melakukan penegakan hukum terkait dengan penegakan perda yang mengatur Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Menanggapi besarnya penerimaan pajak itu, aktivis penegakan KTR Bali, Made Kerta Duana, menegaskan bahwa penggunaannya harus diawasi bersama-sama. "Selama ini terus terang kita selalu mengalami masalah dalam penegakan KTR karena kurangnya dana bagi petugas pengawas di lapangan," ia menegaskan. Dana itu juga bisa digunakan untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan bahaya merokok.
"Potensinya terlihat karena pita cukai rokok tahun 2013 mencapai Rp 100 triliun. Besaran pajak rokok 10 persen dari nilai cukai," kata Kepala Sub-Direktorat Sinkronisasi dan Dukungan Teknis Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Anwar Syahdat, seusai Diskusi Pemanfaatan Dana Tembakau untuk Kesehatan Masyarakat di Kuta, Bali, Selasa, 4 Maret 2014.
Anwar menjelaskan bahwa pajak rokok daerah sebenarnya adalah pajak provinsi yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui kantor Bea-Cukai. Pajak ini nantinya disalurkan setiap tiga bulan sekali kepada pemerintah provinsi yang besarannya ditentukan berdasarkan proporsi jumlah penduduk dibanding jumlah penduduk Indonesia.
Asumsinya, kata Anwar, semakin banyak jumlah penduduk suatu provinsi maka akan semakin banyak jumlah perokoknya. "Ini memang belum ideal karena mestinya benar-benar didasarkan pada jumlah konsumsi rokok di satu daerah. Namun data itu belum kita miliki," ujarnya.
Adapun provinsi yang berhak menerima pajak itu adalah provinsi yang sudah memiliki Perda Pajak Rokok Daerah. Sejauh ini sudah 32 provinsi yang memilikinya. DKI Jakarta sedang dalam proses pembahasan, sementara Kalimantan Utara masih mengikuti perda Kalimantan Timur karena belum memiliki DPRD provinsi yang punya hak membahas dan mengesahkan perda itu.
Adapun penggunaan hasil Pajak Rokok Daerah, seusai UU, minimal 50 persen harus digunakan untuk kepentingan kesehatan masyarakat khususnya penanganan penyakit yang berhubungan dengan merokok. Selain itu, dapat digunakan untuk melakukan penegakan hukum terkait dengan penegakan perda yang mengatur Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Menanggapi besarnya penerimaan pajak itu, aktivis penegakan KTR Bali, Made Kerta Duana, menegaskan bahwa penggunaannya harus diawasi bersama-sama. "Selama ini terus terang kita selalu mengalami masalah dalam penegakan KTR karena kurangnya dana bagi petugas pengawas di lapangan," ia menegaskan. Dana itu juga bisa digunakan untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan bahaya merokok.
Komentar
Posting Komentar