Dibalik Penggunaan Sidik Jari Sebagai Bahan Identifikasi

Awalnya sidik jari ditemukan hanya sebagai bagian dari anatomi manusia. Kemudian, sidik jari dikembangkan para peneliti sebagai sarana untuk membantu proses identifikasi. Siapa aktor di balik semua ini?!
 

FINGERPRINT atau sidik jari merupakan salah satu ciri khas seseorang. Bentuk dan polanya pun bisa berbeda-beda. Dalam arti, tidak ada pola sidik jari yang sama persi. Dengan demikian, bisa dikatakan sidik jari mewakili identitas yang sudah terdokumentasikan.
Termasuk ke dalam ilmu anatomi, analisis sidik jari mulai dicium Nehemiah Grew. Ahli fisika asal Inggris itu mengemukakan hubungan antara struktur kulit di jari dan pohon palm. Hal tersebut dituangkan ke dalam sebuah paper pada 1684.
Setahun berselang, dua ahli anatomi Govard Bidloo dan Marcelo Malpighi mengeluarkan karya tentang struktur jari. Pada kala itu, penemuan hanya pada pola-pola yang berhubungan pada bagian jari.
Hal itu mengusik ahli anatomi asal Jerman Johann Christoph Andreas Mayer. Dia percaya bahwa sidik jari setiap orang punya keunikan tersendiri. Mayer semakin menegaskan bahwa sidik jari setiap orang tidak sama persis meski kembar. Hal itu menjadi dasar yang mantap untuk perkembangan penyelidikan sidik jari.
Penelitian sidik jari semakin ditegaskan Henry Faulds. Hal tersebut dilakukan pada 1880. Fauld menuangkan penelitiannya pada sebuah jurnal yang berisi peran sidik jari dalam proses identifikasi. Tidak hanya itu, Faulds juga memikirkan bagaimana mendokumentasikannya. Ide yang tebersit adalah dengan bantuan tinta.
Usaha Faulds dilanjutkan tatkala dia balik ke Inggris. Di negara itu dia menawarkan konsep identifikasi dengan sidik jari pada kepolisian London. Penawaran tersebut tidak dihiraukan. Kemudian Faulds merasa sudah uzur. Akhirnya dia mewariskan keseluruhan metode itu kepada Darwin.
Penemu teori evolusi itu pun merasa tidak muda lagi. Darwin sudah tidak kuat dan menurunkan ilmu identifikasi sidik jari ke Francis Galton. Orang itu yang sangat menaruh ketertarikan tinggi pada anatomi. Selama sepuluh tahun pengembangan, Galton mulai memublikasikan jurnalnya.
Isi jurnal itu adalah penyempurnaan detail analisis sidik jari sebagai bahan identifikasi. Penemuan itu menjadi terobosan pada dunia forensic science. Karya tersebut diabadikan pada buku berjudul Fingerprint. Galton juga berhasil mengalkulasi bahwa kemungkinan seseorang memiliki sidik jari sama adalah 1:64 miliar. Kejadian itu disebut sebagai false positif.
Pada abad ke-19, pemakaian sidik jari sebagai bahan identifikasi mulai santer terdengar. Untuk itu, sebagai langkah awal, sidik jari setiap orang harus terdaftar pada pihak pemerintahan.

Komentar